Surah IV: Remuk redam dihancurkan sukacita, terpuaskan rasa lapar, tersesat semata wayang, yang terlemah sekaligus paling kuat.
Kami, korosif dan berlumuran darah, penuh lubang dalam lumpur berkubang. Diburu, meratap pada rembulan, menggeliat dan memudar, bersujud di hadapan gerhana.
Di ujung timur pulau terdapat sebuah dermaga tua yang tak pernah digunakan lagi sejak nelayan terakhir pergi melaut dan tak pernah kembali. Tiang-tiang pancangnya masih berdiri tegak bergeming meski tiada henti diterjang ombak. Kayu-kayu lantainya memang sudah banyak yang lepas atau patah karena lapuk, tapi seseorang masih bisa menitinya jika mau. Aku sudah membuktikannya sendiri. Dan di ujung dermaga itulah aku bertengger setiap subuh sebelum mentari terbit. Lutut ditekuk, kaki berpijak pada dua bilah papan kayu yang berjarak renggang. Dan lewat celah di antaranya, kubiarkan segala hal yang tak sanggup kucerna jatuh bercucuran ke dalam buih-buih gelombang. Ahh!
G.006 Ahh!
Waktu pandemi melanda, pola kehidupan sehari-hari mengalami disrupsi, sistem-sistem tak kasat mata yang selama ini bekerja dengan mapan di bawah permukaan realitas yang nyaris monotonik sempurna terpaksa harus disesuaikan kembali untuk mengakomodasi keadaan yang mengancam keberlangsungannya, dan itu menimbulkan percikan-percikan kekacauan mikro dalam peri kehidupan manusia pada hampir seluruh lapisan. Kematian menjadi berita yang lebih hangat dari biasanya. Rencana-rencana yang telah disusun melampaui angan-angan tiba-tiba runtuh berantakan. Orang-orang yang sudah terbiasa menggantungkan harapan dan denyut kehidupannya pada irama sistem jadi kebingungan. Dan semua itu ternyata malah membuatku antusias menjalani hidup. Bolehkah aku mendambakan kekacauan yang lebih menggugah lagi?
G.007 Mendambakan Kekacauan
oleh sejenak berarti
sudah itu mati
𝗞𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝟵𝟴 𝗞𝗮𝘁𝗮
𝗩𝗼𝗹𝘂𝗺𝗲 𝟬𝟱